Bagi sebagian orang mencari mengenal dirinya merupakan usaha khusus yang biasanya memiliki tips dan trik tertentu. Ada yang hanya bisa mendapatkan dalam kondisi hening dan tenang, sementara yang lainnya mendapatkan ditengah keramaian. Apapun itu, semuanya merupakan usaha untuk mengenal diri sendiri.
Mengenal diri sendiri
membutukan ilmu dan pembimbing agar kita tidak tersesat dengan rayuan dunia
ini, mengasingkan diri mencari ketenangan untuk mencari dan mengenal diri kita
sendiri, menyadari siapa diri kita. Dalam mengasingkan diri kita akan
berkomunikasi dengan diri kita sendi serta alam ini. Pembimbing sangatlah
dibutukan agar kita tidak tersesat maupun disesatkan dengan bujuk rayuannya
dunia serta setan.
Khalwat adalah tradisi dalam
tarekat untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menyepi. Mereka yang
menjalani khalwat adalah para pelaku suluk, meskipun esensinya harus dilakukan
oleh umat Islam dan kaum beriman secara keseluruhan.
Khalwat secara bahasa
berasal dari akar kata khala yang berarti sepi, dan dari akar kata ini praktik
khalwat adalah praktik menyepi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Salah satu
rujukan yang sering digunakan kalangan NU untuk praktik khalwat adalah
kitab-kitab sufi yang dikaji di pesantren, seperti Ihya’ Ulumuddin dan Minhajul
`Abidin karangan Imam al-Ghazali, ar-Risalah al-Qusyairiyah karangan Imam Abul
Karim Hawazin al-Qusyairi; dan kitab-kitab lain dari para imam tarekat.
Praktik khalwat dalam bentuk
pengasingan diri dan menyepi secara fisik ini, dalam tradisi pesuluk di kalangan
masyarakat biasanya dilakukan beberapa hari, minimal ada yang 3 hari, 7 hari,
40 hari, dan lain-lain. Karenanya, tetap saja praktik pengasingan diri secara
fisik bukan praktik permanen, karena dilakukan beberapa hari seperti
disebutkan. Dengan khalwat maka akan
memperoleh hakikat hening dan persambungan kepada Allah: menyepi dari
perilaku tercela dan mengisinya dengan perilaku yang baik.
Para guru sufi yang
dijadikan rujukan, selalu mengaitkan khalwat dengan `uzlah (mengasingkan diri)
dari eksistensi keduniaan. Seorang pesuluk harus menempuh `uzlah terlebih dulu,
dan kemudian mengantarkannya untuk menempuh khalwat (menyepi). Secara esensial `uzlah adalah menghindarkan
diri dari praktik tercela, dan mengisinya dengan praktik terpuji, dan karenanya
bukan untuk meninggalkan tanah air. Orang yang mampu seperti ini akan
menjadikan `uzlah dan kemudian khalwat secara berimbang antara hubungan
masyarakat dan pendalaman spiritual internal untuk bersambung dengan Allah.
Khalwat itu sifatnya
sementara tidak menetap selamanya,
khalwat itu sebagai pendidikan ruhani dan pelatihan jiwa. Jika sudah selesai
khalwatnya maka dilanjutkan dengan Khalwat
di keramaian itulah yang disebut dengan Topo Ing Ramai.
Orang yang seperti ini harus
kukuh dan berdiri di barisan masyarakat untuk mencerahkan dan membimbing
mereka, tetapi hatinya harus tetap bersama Allah. Inilah yang disebut sebagai
kemampuan untuk khalwat atau tajrid (menyepi) yang sukar dilakukan oleh orang,
yaitu menyepi dan uzlah di tengah keramaian.
Komentar