Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian
uji materi Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia terkait sertifikat jaminan fidusia yang memiliki
kekuatan eksekutorial. Dalam putusan bernomor 18/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan
Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo di ruang sidang MK, Senin (6/1/2020).
Dalam putusan, MK memutuskan sertifikat
jaminan fidusia tidak serta merta (otomatis) memiliki kekuatan eksekutorial.
Selain itu, cidera janji dalam eksekusi perjanjian fidusia harus didasarkan
pada kesepakatan kedua pihak antara debitur dan kreditur atau atas dasar upaya
hukum (gugatan ke pengadilan) yang menentukan telah terjadinya cidera janji.
Dalam hal ini sudah dapat kita pastikan
bahwa kekuatan eksekutorial hanya dapat dilakukan jika sudah memiliki kekuatan
hukum, diantaranya harus ada putusan pengadilan mengenai telah terjadinya cidra
janji dan atau jika pihak dari debitur menyerakan sendiri tanpa ada paksaan.
Mahkamah berpendapat norma Pasal 15 ayat
(2), (3) UU Jaminan Fidusia tidak ada kepastian hukum baik berkenaan dengan
tata cara eksekusi atau waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan
“cidera janji” (wanprestasi) dan hilangnya kesempatan debitur mendapat
penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar. Selain sering
menimbulkan adanya paksaan dan kekerasan oleh penerima fidusia (kreditur) serta
merendahkan harkat dan martabat debitur. Hal ini jelas ada persoalan
inkonstitusional norma dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia.
Bagi Mahkamah, kewenangan ekslusif
penerima hak kebendaan jaminan fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang
tidak ada masalah dengan kepastian waktu kapan pemberi hak fidusia (debitur)
telah “cidera janji” (wanprestasi). Dan debitur secara sukarela menyerahkan
benda objek perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan
sendiri. Artinya, pemberi fidusia (debitur) mengakui dirinya telah “cidera
janji”, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda objek
perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan penjualan
sendiri.
Berarti pada pokoknya bahwa dengan adanya
putusan ini, eksekusi objek jaminan fidusia itu harus memiliki kekuatan hukum,
yaitu dengan adanya putusan pengadilan bahwa debitur telah memenuhi unsur
perbuatan wanprestasi (pengajuan permohonan penetapan sita ke pengadilan), atau
debitur menyerahkan langsung dan mengakui bahwa telah wanprestasi.
Kalau pihak leasing masih melakukan
eksekusi tanpa ada putusan pengadilan maka debitur punya kewajiban/hak untuk
melakukan pelaporan ke pihak yang bewajib karena pihak leasing telah memenuhi
unsur tindak pidana perampasan.
Komentar