Pengertian Kredit
Di zaman sekarang ini
perkembangan sistem ekonomi sudah sangat pesat. Beragam sistem ditawarkan oleh
para niagawan untuk bersaing mencarih dan memikat para pelanggan, di antara
sistem yang saat ini terus dikembangkan adalah sistem kredit, system ini yaitu
menjual barang dengan pembayaran secara tidak tunai (pembayaran ditangguhkan
atau diangsur).
Sebelum membahas lebih
lanjut tentang hukum jual beli
kredit dalam islam, perlu kita pahami
dulu apakah itu kredit. Terdapat beberapa definisi tentang kredit.
Menurut UU No. 10 tahun
1998, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Menurut wikipedia, kredit
adalah suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha
untuk meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam jangka
waktu yang ditentukan.
Menurut kamus besar bahasa
Indonesia (KBBI), kredit memiliki 4 definisi yakni:
Cara menjual barang dengan
pembayaran secara tidak tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur)
Pinjaman uang dengan
pembayaran pengembalian secara mengangsur
Penambahan saldo rekening,
sisa utang, modal, dan pendataan bagi penabung
Pinjaman sampai batas jumlah
tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain.
Dari semua definisi diatas,
bisa disimpulkan bahwa kredit adalah metode pembayaran barang atau hutang
dengan cara dicicil dalam kurun waktu tertentu sesuai kesepakatan. Biasanya
barang yang dijual dengan kredit memiliki harga lebih mahal daripada dibayar
tunai.
Pandangan Islam tentang
Kredit
Tidak adanya dalil yang
mengharamkan kredit, Secara umum jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan
oleh syariat. Hal ini berdasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah:
Firman Allah yang membolekan
Utang Piutang
Praktik kredit sama dengan
utang piutang. Sedangkan Allah Ta’ala juga membolehkan hukum berhutang piutang.
Asalkan tidak ada unsur penambahan bunga. Ini dijelaskan dalam surat Al-Baqarah
ayat 282:
“Hai orang-orang yang
beriman. Apabila kamu berhutang dalam
waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Maka jangan lah penulis
menolak menuliskanya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya. Dan
hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan. Dan hendak lah ia bertaqwa
kepada Allah, tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari padanya.
Jika orang yang berhutang
itu lemah akal nya ( keadaannya) atau tidak mampu mendiktekan sendiri maka
hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi laki-laki diantara kamu. Jika tidak ada maka boleh seorang laki-laki
dan dua orang perempuan dari orang- orang yang kamu sukai diantara mereka. Agar
jika seorang lupa maka yang lain lagi mengingatkan. Dan janganlah saksi itu
menolak jika dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya untuk waktunya
baik hutang itu besar atau kecil. Yang demikian itu lebih adil disisi Allah.
Lebih dapat menguatkan persaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada
ketidakraguan.
(Tulislah mu’amalahmu itu),
kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menulisnya. Dan ambillah saksi
apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi dipersulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran
kepadamu, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS : Al-Baqarah: 282)
Hadist Shahih tentang Rasul
yang Pernah Berhutang
Dibolehkannya transaksi
dengan kredit juga didasarkan pada hadist shahih yang menjelaskan bahwa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dengan cara
berhutang.
Dari Aisyah radhiyallahu
‘anha mengatakan, bahwa: "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli
sebagian bahan makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran dihutang dan
beliau juga menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari d an Muslim)
Walaupun kredit
diperbolehkan dalam islam, namun ada juga aturan-aturan yang perlu diikuti.
Diantaranya yakni:
Syarat pertama tidak boleh
melakukan transaksi secara ribawi.
Pinjam sesuatu balik sesuatu
yang sama dengan berlipat/menggandakan atau ada lebihnya yang tidak wajar,
dan/atau memiliki denda jika terlambat bayar. Hal ini didasari oleh hadist yang
diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shomit rodhiallohu ‘anhu, beliau berkata,
Rasulullah-shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda :
“Emas dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma
dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama
berat serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu asalkan
dengan tunai dan langsung serah terimanya.” (HR. Muslim)
Barang yang DiKreditkan
Adalah Milik Sendiri
Seorang penjual harus
Kreditkan barang yang dimilikinya sendiri. Tidak diperbolehkan mengkreditkan
barang yang bukan hak-nya.
Serah Terima Barang Harus
Dilakukan Tepat Waktu
Biasanya dalam sistem
kredit, barang diberikan ke pembeli saat pembayaran uang muka. Hal ini harus
dilakukan tepat waktu, tidak boleh ditunda-tunda. Sebab bagaimanapun juga
pembeli sudah memiliki hak terhadap barang tersebut. Kecuali ada perjanjian dan
kesepakatan tertentu.
Waktu Tempo Pembayaran Harus
Jelas
Dalam sistem kredit yang
terpenting adalah perjanjian dan kesepakatan tentang prosedur transaksi
tersebut. Termasuk waktu tempo pembayaran juga harus jelas.
Apabila Terlambat, Tidak
Boleh Ada Sistem Penambahan Bunga/denda
Dalam bertransaksi sistem
kredit, tidak memberlakukan penambahan bunga dan saat pembelih terlambat
membayar ada dendanya. Ini membuat terjerumus ke dalam riba.
Harga Berlipat Dari
Pembayaran Cash Boleh Asal Tidak Berlebihan
Dalam sistem jual beli
kredit biasanya harga barang yang ditawarkan lebih mahal daripada harga cashnya
(namun jangan sampai berlipat-lipat dari harga barang). Penerapan harga semacam
itu sebenarnya diperbolehkan oleh ulama, asalkan tidak berlebihan. Sebab bagaimanapun
juga pebisnis perlu mendapatkan untung. Selain itu juga mempertimbangkan
beberapa faktor, misalnya saja biaya administrasi, inflasi, dan sebagainya.
Kesepakatan Dua Belah Pihak
Yang terpenting dari
melakukan transaksi kredit harus ada kesepatakan atau akad jual beli antara
kedua belah pihak, dalam islam antara dua belah pihak disini tidak mengandung
unsur paksaan, baik itu nilai pembayaran ataupun tempo pelunasan keduanya harus
secara jelas dan disetujui oleh penjual dan pembeli.
Inilah penjelasan tentang
hukum kredit dalam islam, jika ada salah dan kurangnya penulis mohon maaf
kepada Allah SWT. penulis mohon anpun.
Komentar