Mutasi Sebuah Pelanggaran atau keharusan
untuk dilakukan.!!!
Sejatinya politik merupakan suatu proses
struktural dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat untuk mengatur keputusan
dalam sebuah Negara agar tercapai suatu sistem politik yang dapat menciptakan
masyarakat yang adil dan makmur. Karena politik merupakan suatu wadah atau
sarana perjuangan untuk sama-sama dalam bicara kekuasaan. Dalam sejarah
kekuasaan selalu diwarnai baik dan buruk yang sifatnya relatif sebagai sebuah
proses pemikiran dan tindakan baik secara individu-individu maupun sosial.
Mengutip pendapat Machiavelli (1989) bahwa
untuk mengukuhkan kekuasaan demi menjaga keamanan dan stabilan dalam kekuasaan,
tidak perlu mementingkan nilai moral dan etika. Sebagai contoh, seseorang
ketika berkuasa tidak perlu menunaikan janji yang disampaikannya kepada rakyat,
pemerintah yang berkuasa boleh bersikap tidak jujur, tidak mematuhi
undang-undang (UU) dan lain sebagainya yang bertentangan secara nilai. Maka
ketika seseorang telah memegang kendali sebuah kekuasaan, agar kekuasaanya itu
kokoh dan tidak ada gangguan dari luar. Kecenderungan bertindak diluar batas
nilai, baik berbaju atas nama hukum maupun tujuan berkuasa kadang itu
dilakukan.
Membaca sebuah hadis Shahih Al-Bukhari, dari
sahabat Abu Musa Al-Asy’ari z, bahwa ada dua orang mengatakan kepada Nabi
Muhammad SAW: “Wahai Rasulullah, jadikan kami sebagai pemimpin.” Maka beliau
menjawab “Sesungguhnya kami tidak akan memberikan kepemimpinan kami ini kepada
seseorang yang memintanya atau berambisi terhadapnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari
dan Muslim). Hadis ini memberi peringatan dalam sebuah kepemimpinan ada potensi
keambisian seseorang dalam berkuasa, dan orang tersebut akan melakukan segala
cara untuk mendapatkannya.[1]
Maka dalam Pemilihan Umum maupun Pemilihan
kepala daerah potensi sebuah pelanggara, baik dari yang ingin berkuasa maupun
sedang berkuasa “yang ingin mempertahankan kekuasaanya” berpeluang melakukan
pelanggaran.
Salah satu hal menarik menjelang pemilihan
kepala daerah tahun 2020 adalah mutasi yang bermasalah secara hukum pada saat
pemilihan maupun setelah pemilihan. Tak jarang itu dilakukan sebagai alat
politik dalam mempertahankan kekuasaanya, sebagai upaya politik memenangkan
Pemilihan kepala daerah sebagai calon petahanan. Dengan memobilisasi kekuatan
pemerintahan, baik berbasis kekuasaan, dana, maupun kepentingan lainnya. Pada
akhirnya hal tersebut menempatkan Pemerintahan sebagai alat kepentingan pribadi
maupun golongan elit tertentu, bukan sebagai pengayom dan pengabdi masyarakat
yang seharusnya bersikap adil dan netral ditengah masyarakat.
Sebagai contoh Petahana di coret oleh KPU
Boalemo karena perintah Putusan Mahkamah Agung No 570 K/TUN/Pilkada/ 2016.
Dalam putusan tersebut petahana terbukti melakukan mutasi ASN sehingga harus
dibatalkan sebagai calon bupati dan wakil Bupati kabupaten Boalemo Tahun 2017.
Putusan ini adalah putusan mahkamah agung pertama mengenai Pembatalan calon
kepala daerah karena melakukan mutasi. Dapat menjadi pelajaran bagi calon
petahana kedepannya hal ini akan menadi Yurisprudensi dalam mengambil keputusan
terkait pelanggaran pemilihan kepala daerah.
Pada Pemilihan kepala daerah tahun 2016,
surat rekomendasi pembatalan kepersertaan calon bupati Jayapura Badan Pengawas
Pemilu ( Bawaslu) RI terhadap calon petahana Mathius Awitauw kepada Komisi
Pemilihan Umum (KPU) RI karena dugaan melanggar Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Karena mengganti pejabat di lingkungan
pemerintah daerah kabupaten Jayapura. Diwaktu yang sama anggota Bawaslu RI
Fritz Edward Siregar menyampaikan terkait rekomendasi pembatalan ini hanya
berlaku untuk Mathius Awitauw seorang dan tidak untuk calon wakil bupati
Jayapura Giri Wijayantoro.
Awalnya, larangan mutasi oleh calon Petahana
terdapat dalam Pasal 71 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Kemudian Pasal tersebut mengalami
perubahan lewat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dengan memuat larangan mutasi
kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri.[2] Pada Ayat (5) memuat ketentuan saksi bagi pelanggar
sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota baik
dilakukan oleh calon Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati,
dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana.
Pada Pemilihan Kepala Daerah sebelumnya
(Tahun 2018) ketentuan terkait larangan mutasi juga diatur dalam Pasal 89 Ayat
(1) Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota yang memuat larangan calon petahana mengganti pejabat pemda
6 bulan sebelum tanggal penetapan calon kepala daerah sampai akhir masa
jabatan. Jika melanggar, penyelenggara pemilu akan menjatuhkan sanksi
pembatalan sebagai kontestan pemilihan kepala daerah (Tidak Memenuhi Syarat).
Sesuai dalam Peraturan KPU Nomor 15 Tahun
2019 tentang Tahapan, Program, Dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil
Walikota Tahun 2020, penetapan paslon untuk Pilkada Serentak 2020 dijadwalkan
pada 8 Juli 2020. Artinya, kepala daerah tidak boleh melakukan rotasi, mutasi
atau demosi Jabatan ASN terhitung mulai 8 Januari 2020, sehingga penggantian
pejabat Pemerintahan masih bisa dilakukan seperti biasa sebelum tanggal
tersebut.
Selain larangan Mutasi pejabat, dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 diatur juga terkait larangan bagi incumbent
menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan
salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam
waktu 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan
pasangan calon terpilih.[3] Jika gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati,
dan wali kota/wakil wali kota selaku petahana melanggar ketentuan tersebut,
petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU provinsi
atau KPU kabupaten/kota.
Berkada pada Pilkada 2018. Dalam rangka
menyelenggarakan tertib pemerintahan khususnya dalam penggantian pejabat oleh
Pejabat (Pj)/Pelaksana Tugas (Plt)/Pejabat Sementara (Pjs) terkait dengan
pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Menteri Dalam Negeri saat itu
masih dijabat (Mendagri) Tjahjo Kumolo pada tanggal 12 Februari 2018
menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor: 821/970/SJ tentang Penggantian Pejabat oleh
Pj/Plt/Pjs Kepala Daerah Yang Menyelenggarakan Pilkada Serentak. Dalam SE
tersebut Mendagri menegaskan, bagi Kabupaten/Kota yang melaksanakan Pilkada
serentak, maka Pejabat yang ditetapan sebagai Pj/Plt/Pjs tidak diperkenankan
melakukan mutasi jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri
Dalam Negeri. Dalam hal terjadinya kekosongan jabatan, menurut SE tersebut,
pengisian yang dilakukan oleh Pj/Plt/Pjs dengan persetujuan tertulis dari
Menteri Dalam Negeri hanya dapat diberikan terhadap izin mutasi pada kekosongan
jabatan dengan selektif.[4]
Untuk menjamin kelancaran, kesinambungan, dan
stabilitas penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat,
menurut SE tersebut, bagi Pj/Plt/Pjs Bupati/Walikota yang melaksanakan Pilkada,
yang akhir masa jabatannya lebih dari 1 (satu) tahun terhitung sejak 6 (enam)
bulan sebelum hari tanggal penetapan pasangan calon, terhadap kekosongan
jabatan pada perangkat daerah dapat dilaksanakan pengisian pejabat berupa
mutasi yang bersifat sangat selektif atau seleksi terbuka setelah mendapat
persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Pimilihan kepala daerah sudah didepan mata,
di Provinsi Bengkulu sendiri setidaknya akan melakukan Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur dan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di 8 (Delapan) Kabupaten.
Semua tidak menginginkan sejarah buruk pencoretan calon kepala daerah dari
petahana terjadi di Provinsi Bengkulu. Menjadi tanggung jawab semua pihak tentu
untuk mengingatkan, mengontrol, dan mengawasi. Tentu jajaran Bawaslu Provinsi
Bengkulu bersama Bawaslu Kabupaten/ kota sudah memetakan potensi kerawanan
tersebut, termasuk menyiapkan instrumen hukum yang kuat baik dalam mencegah
maupun menindak pelanggaran aturan dalam Pemilihan kepala darah.
Mengingatkan kembali bagi kita semua semua
kata bijaksana dari Ibnu Rajab Al-Hanbali[5], beliau menyampaikan bahwa “Ambisi
seseorang terhadap kedudukan lebih membinasakan daripada ambisi seseorang
terhadap harta. Karena, mencari kedudukan duniawi, kekuasaan dan kepemimpinan
atas manusia, ketinggian di muka bumi, lebih membahayakan terhadap seorang
hamba daripada bahaya ambisi harta. Kerusakannya lebih besar sementara zuhud
dalam perkara tersebut lebih sulit, karena harta saja akan dikorbankan demi
mencari kepemimpinan dan kedudukan”.
Penulis adalah Masyarakat Pinggiran Pasar
Panorama Kota Bengkulu.
Awang Konaevi
[1]
https://www.nahimunkar.org/awas-ambisi-jabatan-dan-harta-sangat-merusak-agama-seseorang/
didounload tanggal 14 November 2019 Pukul 10.34 WIB.
[2] Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
[3] Pasal 71 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2016.
[4] Mendagri Tjahjo Kumolo Didounload dari
https://indopolitika.com/surat-edaran-mendagri-plt-pjs-kepala-daerah-dilarang-lakukan-mutasi-jabatan/.
[5] https://www.nahimunkar.org/awas-ambisi-jabatan-dan-harta-sangat-merusak-agama-seseorang/
didounload tanggal 14 November 2019 Pukul 10.34 WIB.
Komentar