Dewasa ini kita sering
mendengar persoalan sosial yang muncul dalam masyarakat menyangkut masalah
zina. Islam adalah agama yang sangat mengutuk perbuatan tercela tersebut dan
menganjurkan umatnya untuk senantiasa menghindari perbuatan zina. Perbuatan
zina tersebut bisa diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kemajuan
teknologi, maraknya pergaulan bebas, pudarnya nilai-nilai islami dan mudahnya
seseorang berinteraksi dengan orang lain. Kemajuan teknologi memang berdampak
positif dan memanjukan hidup manusia namun teknologi juga bisa menimbulkan
pengaruh negatif terutama pada generasi muda. Maraknya pergaulan bebas juga
merupakan salah satu ciri-ciri akhir zaman. di dalam hukum islam suda sangat
menentang atas perbuatan zina, seperti di dalam Al-Quar'an, yaitu: Dan
janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah faahisah
(perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang).
(al-Israa /17 : 32).
Kalau masalah hukum perbuatan
zina sudah dapat kita pastikan haram sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran
surat Al-Israa diatas, yang menjadi permasalahan yaitu hukum pernikahan
apabilah telah terjadi perzinahan dan para penzina tersebut ingin melakukan
pernikahan karena telah hamil untuk menutupi aib atas perbuatan mereka.
Sebenarnya, mayoritas para
ulama membolehkan pernikahan wanita yang sedang hamil akibat perzinaan dengan
laki-laki yang telah menghamilinya. Namun pendapat ulama yang lebih rajih
(kuat) disyaratkan kepada kedua calon pengantin untuk bertobat dari dosa besar
yang telah dilakukannya. Hal ini seperti diungkapkan dalam pendapat dari mazhab
Imam Ahmad, Qatadah, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid. Sedangkan ulama lain, seperti Imam
Malik, Syafi’i, dan Abu Hanifah, tetap mengesahkan pernikahan tersebut walau
kedua calon pengantin belum bertobat. "Laki-laki yang berzina tidak
menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan
perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mukminin."
(QS an-Nur [24]: 3).
Semua pendapat yang
menghalalkan wanita hamil di luar nikah dikawinkan dengan laki-laki yang
menghamilinya, berangkat dari beberapa hadist, yaitu: Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah
SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan
berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,`Awalnya perbuatan kotor dan
akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal`. (HR
Tabarany dan Daruquthuny).
Juga dengan hadits berikut
ini: Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Isteriku ini seorang yang suka
berzina`. Beliau menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku takut memberatkan diriku`.
`Kalau begitu mut`ahilah dia`. (HR Abu Daud dan An-Nasa`i)
Pendapat Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah menyebutkan
bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya,
hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang
menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.
Pendapat Imam Malik dan Imam
Ahmad bin Hanbal
Imam Malik dan Imam Ahmad
bin Hanbal mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini
wanita yang hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis
masa 'iddahnya.
Imam Ahmad menambahkan satu
syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa zinanya. Jika
belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih boleh menikah dengan siapa pun.
Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An-Nawawi,
jus XVI halaman 253.
Pendapat Imam Asy-Syafi'i
Adapun Al-Imam Asy-syafi'i,
pendapat beliau adalah bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak
menghamili, dibolehkan menikahinya. Sebagaimana tercantum di dalam kitab
Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43.
Undang-undang Perkawinan RI
Dalam Kompilasi Hukum Islam
dengan instruksi presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang
pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI no. 154 tahun
1991 telah disebutkan hal-hal berikut:
- Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
- Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dpat dilangsungkan tanpa menunggu lebih duhulu kelahiran anaknya.
- Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Seperti yang disebutkan
diatas, bahwa menurut sebagian besar ulama berpendapat menghalalkan wanita
hamil di luar nikah dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya. tetapi yang
menjadi permasalahan adala apabila wanita hamil tersebut dinikahi oleh laki-laki
yang bukan menghamilinya.
Apabilah pernikan tersebut
dilakukan bukan dengan laki-laki yang menghamilinya maka Haram hukumnya. Karena
hal itu akan mengakibatkan rancunya nasab anak tersebut. Dalilnya adalah
beberapa hadist berikut ini: Nabi SAW bersabda, "Janganlah disetubuhi
(dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan." (HR Abu
Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim)
Nabi SAW bersabda,
"Tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir
untuk menyiramkan airnya pada tanaman orang lain." (HR Abu Daud dan
Tirmizy)
Pernikahan hamil diluar nika
ini memang diperbolehkan, namun permasalahan dari pernikahan hamil diluar nika
ini akan menimbulkan dan akan berakibat kepada anaknya nanti mengenai masalah
nasab dan atau warisan. sebagian ulama berpendapat bahwa tidak dapat dinasabkan
kepada ayah biologisnya dan sang anak tersebut tidak berhak mendapat waris/wali
nika dari ayah biologisnya. dari pendapat ini akan menimbulkan permasalahan
untuk anaknya nanti, terutama anaknya wanita ketika akan melakukan pernikahan.
Tapi ada juga pendapat
sebagian ulama bahwa anak zina dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya, dengan
syarat adalah apabila wanita zina tersebut hamil lalu dinikahi oleh laki-laki
yang menghamilinya sebelum usia kandungannya di atas enam bulan dari ‘aqad
nikah, maka setatus anak yang dikandung dapat dinasabkan kepada ayahnya. namun
jika laki-laki yang menghamili wanita tersebut belum dinikahinya setelah usia
kandungannya diatas enam bulan dari ‘aqad nikah, maka setatus anak tersebut
tidak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya. Atau lahir anak zina tersebut
kurang dari 6 bulan dari akad nikah, maka nasab anak tersebut terputus dari
ayah biologisnya. Sebagai contoh anak zina yang dapat dinasabkan kepada ayah
biologisnya adalah, jika masa kelahiran 9 bulan dari kehamilan, maka harus
dinikahi wanita tersebut pada masa kandungannya dibawah 3 bulan, jika masa
kelahirannya 8 bulan, maka harus menikahinya dibawah 2 bulan dari kehamilan,
begitulah seterusnya (Al-Fiqh Al Islami wa Adillatuh, Prof.Dr. Wahbah Zuhaili).
Dan jika kelahiran anak
tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana di sebutkan diatas, maka anak zina
tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya dan sang anak tersebut
tidak berhak mendapat waris/wali nika dari ayah kandungnya, namun berhak mendapat
waris dari ibu kandungnya, sedangkan wali nikah menjadi wali hakim (Sidang
Dewan Fatwa ulama-ulama Al Washliyah Se-Indonesia Juli 2010 di Aceh). Bagi laki
yang menghamili wanita tersebut yang menyebabkan lahirnya anak dapat dijatuhi
sangsi (‘Uqubah) oleh pemerintah seperti harus bertanggung jawab memberikan
nafkah kepada anak biologisnya sampai anak tersebut dapat hidup mandiri.
Komentar