Mengenai relasi agama dan negara, Islam sejak
awal tidak menyebutkan tentang bagaimana konsep dan bentuk negara yang
dikehendaki. Dalam konsep Islam, dengan mengacu pada al-Quran dan al-Hadith,
tidak ditemukan rumusan tentang negara secara eksplisit (gamblang), di dalam
kedua sumber hukum Islam itu terdapat prinsip-prinsip dasar dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, di antaranya yaitu:
- Keadilan: (QS. 5:8) Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
- Musyawarah: (QS. 42:38) Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.
- Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran: (QS.3:110) Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah.
- Perdamaian dan persaudaraan: (QS. 49:10) Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
- Keamanan : (QS. 2:126) Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa.
- Persamaan: (QS. 16:97 dan 40:40) Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97).
Secara historis, cikal bakal negara Islam,
meski dalam bentuk yang sangat sederhana dan tidak tersebut secara yuridis
formal, dapat dirunut sejak pasca lahirnya perjanjian Hudaybiyah II (Piagam
Madinah). Meskipun pendirian negara, termasuk agama negara, tidak
diartikulasikan secara tegas oleh nabi, persyaratan sebagai negara telah
terpenuhi: wilayah, pemerintahan, rakyat, kedaulatan, dan konstitusi. Yang
penting untuk digarisbawahi adalah, bahwa tidak adanya penyebutan Negara Madinah
pada saat itu sehingga banyak kalangan yang menyebut perjanjian itu sebagai
bentuk kerjasama antar berbagai elemen masyarakat di sebuah wilayah. Inilah
yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan dan bahan kajian untuk mencari
formulasi apa yang disebut sebagai negara Islam. Kontemporer islam tidak ada
kesepakatan yang bulat di kalangan pakar politik Muslim modern tentang apa
sesungguhnya yang terkandung dalam konsep negara Islam. Kenyataan mudah
terlihat dengan begitu beragamnya sistem negara dan pemerintahan di dunia ini
yang menganggap dirinya sebagai negara Islam.
Dalam Islam tidak ditemukan rumusan tentang
negara secara eksplisit, yang kemudian melahirkan beberapa pertanyaan. seperti,
Apakah negara harus tunduk di bawah ajaran agama? apakah agama harus
terkooptasi oleh negara? Apakah negara dan agama harus berhadapan secara
frontal, tanpa harus saling mencampuri? Apakah agama dan negara di posisikan
dalam ruang yang berbeda, namun saling menguntungkan? Atau agama dan negara
harus dipersatukan? Inilah yang kemudian banyak melahirkan polemik sepanjang
sejarah.
Dalam sejarah Islam, ada tiga tipologi
hubungan antara agama dan negara. Menurut Din Syamsudin membaginya sebagai
berikut: Pertama, golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara
berjalan secara integral. Domain agama juga menjadi domain negara, demikian
sebaliknya, sehingga hubungan antara agama dan negara tidak ada jarak dan
berjalan menjadi satu kesatuan. Tokoh pendukungan gerakan ini adalah
al-Maududi. Kedua, golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan
negara berjalan secara simbiotik dan dinamis-dialektis, bukan berhubungan
langsung, sehingga kedua wilayah masih ada jarak dan kontrol masing-masing,
sehingga agama dan negara berjalan berdampingan. Keduanya bertemu untuk
kepentingan pemenuhan kepentingan masing-masing, agama memerlukan lembaga
negara untuk melakukan akselerasi pengembangannya, demikian juga lembaga negara
memerlukan agama untuk membangun negara yang adil dan sesuai dengan spirit
ketuhanan. Tokoh Muslim dunia dalam golongan ini di antaranya adalah Abdullahi
Ahmed An-Na'im, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdurrahman Wahid dan
Nurcholish Madjid. Ketiga, golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara
merupakan dua domian yang berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali. Golongan
ini memisahkan hubungan antara agama dan politik negara. Oleh sebab itu,
golongan ini menolak pendasaran negara pada agama atau formalisasi norma-norma
agama ke dalam sistem hukum negara.
Dari penjelasan diatas menurut sudut pandang
penulis bahwa tipologi hubungan antara agama dan negara sesuai dengan golongan
pertama, yaitu: golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan
negara berjalan secara integral. Domain agama juga menjadi domain negara,
demikian sebaliknya, sehingga hubungan antara agama dan negara tidak ada jarak
dan berjalan menjadi satu kesatuan. Tokoh pendukungan gerakan ini adalah
al-Maududi.
Agama dan negara berjalan menjadi satu
kesatuan yang saling berhubungan, karena pada dasarnya tujuan suatu negara itu
untuk mendatangkan kebaikan bagi masyarakatnya, begitupun sebaliknya bahwa
agama bertujuan untuk kebaikan dunia maupun di akherat, dan agama adalah
pondasi dan tiang untuk terciptanya kemaslahatan kehidupan masyarakatnya,
sedangkan negara adalah rumah untuk menciptakan kemaslahan masyarakat.
Komentar