Proses Eksekusi
Jaminan yang lahir karena perjanjian adalah
jaminan yang harus diperjanjikan terlebih dahulu diantara para pihak, yaitu
perjanjian yang mengikuti dan melihat pada perjanjian dasar atau perjanjian
pokok yang menerbitkan utang atau kewajiban atau prestasi bagi debitur terhadap
kreditur.
Bahwa asas perjanjian pacta sun servanda yang
menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersepakat, akan
menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam
hukum perjanjian.
Pada Pasal 14 ayat 3 UU Jaminan fidusia
berbunyi jaminan lahir saat dilkukan pendaftaraan jaminan fidusia. Pernyataan
dalam UU tersebut bisa dimaknai, apabila jaminan fidusia belum didaftarkan maka
kreditur (perusahaan leasing/pembiayaan) belum memiliki hak jaminan fidusia
termasuk hak untuk melakukan eksekusi terhadap benda yang sedang dijaminkan.
Hal ini tentunya memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada para pihak
melalui lembaga pendaftaran fidusia. “Meski tujuan pengaturan lembaga jaminan
khusus kebendaan (fidusia–red) utamanya guna melindungi kepentingan kreditur
sebagai penyedia dana dalam perjanjian pinjam meminjam, namun kententuan yang
terdapat di UU Jaminan Fidusia tetap memperhatikan kepentingan para pihak
secara seimbang termasuk kepentingan debitur”.
Lembaga jaminan fidusia juga memberikan
perlindungan kepada benda bergerak atau kendaraan yang sedang di kredit oleh
debitur tidak bisa dieksekusi oleh kreditur kecuali dalam hal debitur
wanprestasi. Kewenangan melakukan eksekusi baru bisa dilakukan oleh kreditur
apabila debitur melakukan wanprestasi dengan memperhatikan Pasal 1238 Kitab
Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata. “Pada Pasal 1238 KUH Perdata menyebutkan
bahwa debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, akta sejenis atau
berdasarkan kekuatan dari perjanjian akad kredit sendiri atau berdasarkan
lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Dengan kata lain wanprestasi
bisa diartikan debitur tidak melaksanakan kewajibannya kepada kreditur sesuai
waktu yang sudah disepakati”.
Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara
mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang
normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum
formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang
dikandungnya. Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak
menggunakan semua upaya hukum yang tersedia.
Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan
dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa
keadilan semua pihak.
UU memberikan alternatif bagi kreditur yang
memerlukannya melalui pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana diatur dalam
Pasal 29 ayat (1a) UU Jaminan Fidusia. “Oleh karenanya tafsir yang salah
terhadap ketentuan eksekusi tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan
judicial review”. Tak hanya itu, perlindungan lain yang diberikan oleh UU
Jaminan Fidusia yakni larangan untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan
dalam hal debitur wanprestasi. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UU
Jaminan Fidusia.
Berdasarkan ketentuan tersebut, objek jaminan
hanya dimungkinkan untuk dijual atau dieksekusi jika debitur melakukan
wanprestasi dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi kewajiban debitur
jika ada sisa dari penjualan maka hasilnya harus dikembalikan kepada debitur.
“Jelas bahwa eksekusi dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban debitur sesuai
dengan perjanjian, bukan merampas hak milik debitur secara semena-mena”.
Komentar